Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Naskah Program Sekolah Penggerak Tahun 2021

Naskah Program Sekolah Penggerak Tahun 2021


Pada kurun 2015—2019, pemerintah berhasil menurunkan angka putus sekolah (APTS) di jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK, bahkan APTS SMA telah turun sebesar 72% dari 7,01% pada tahun 2015 menjadi 1,97% pada 2019. Capaian penurunan APTS yang signifikan di jenjang sekolah menengah merupakan hasil dari salah satu program prioritas nasional, yaitu Program Indonesia Pintar (PIP). Bantuan PIP disalurkan melalui Kartu Indonesia Pintar dengan cara memberikan bantuan tunai pendidikan kepada siswa SD, SMP, SMA, dan SMK dari keluarga miskin atau rentan miskin untuk membiayai pendidikan (Renstra Kemendikbud 2020—2024).

Naskah Program Sekolah Penggerak Tahun 2021


Turunnya angka putus sekolah berkontribusi pada meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) jenjang SMP dan SMA Sederajat. APK SMP/MTs Sederajat meningkat dari 88,6% pada tahun 2014 menjadi 90,6% pada 2019. Sedangkan, APK SMA/SMK/MA Sederajat meningkat dari 74,3% pada tahun 2014 menjadi 83,98% pada 2019. Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata lama sekolah juga meningkat seiring perkembangan APK tersebut. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 (lima belas) tahun ke atas saat ini mencapai 8,75 (Renstra Kemendikbud 2020—2024).


Dari sisi guru, upaya standardisasi kompetensi guru telah ditempuh melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur kualifikasi minimum pendidikan dan standar kompetensi guru. Sebagai sebuah profesi, setiap guru diharapkan memiliki pendidikan minimum sarjana atau diploma IV dan memiliki kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian, dan profesional yang dibuktikan dengan adanya sertifikat pendidik. Kebijakan ini telah mendorong sebagian besar guru memiliki gelar sarjana, dari sekitar 37% pada 2003 menjadi 90% pada 2016 (World Bank, 2018a).


Guru yang tersertifikasi juga terus bertambah, yakni dari 46% pada tahun 2015 menjadi sekitar 55% pada 2019. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, pola sertifikasi guru dalam jabatan telah diubah menjadi Pendidikan Profesi Guru (PPG). Dibandingkan dengan pola sertifikasi sebelumnya, PPG memerlukan waktu yang lebih lama, yakni dari semula 10 hari menjadi 6 bulan. Pendidikan Profesi Guru melibatkan LPTK sebagai pelaksananya dan disertai dengan Uji Tulis Nasional (UTN) sebagai syarat kelulusan sehingga lebih terjaga mutunya (Renstra Kemendikbud 2020—2024).


Berbagai upaya perluasan akses dan pembenahan mutu penyelenggaraan pendidikan di atas sayangnya belum membuahkan capaian pembelajaran yang memuaskan (Joppe de Ree dkk., 2017; Kurniawati dkk., 2018). Survei capaian hasil belajar siswa seperti Programme for International Student Assessment (PISA) mengindikasikan mutu pendidikan di Indonesia belum beranjak baik. Hasil PISA dari tahun 2000 hingga 2018 menunjukkan performa yang cukup baik dalam hal perluasan akses pendidikan, terlihat dari meningkatnya partisipasi siswa bersekolah dalam survei PISA dari 39% pada tahun 2000 menjadi 85% pada 2018. Namun, perkembangan positif itu belum diikuti oleh capaian hasil belajar, di mana skor PISA 2018 untuk kemampuan membaca, matematika, dan sains secara berurutan adalah 371, 379, dan 376 yang mana berada di bawah rata-rata negara-negara OECD. Sebagian besar siswa bahkan tidak mampu mencapai kompetensi minimal di tiga bidang tersebut—sejumlah 70% siswa tidak mencapai kompetensi minimal dalam membaca, 71% untuk matematika, dan 60% untuk sains (Pusat Penilaian Pendidikan, 2019).


Kesenjangan kualitas pendidikan antardaerah juga masih menjadi isu penting dalam pemerataan mutu. Indonesia memiliki 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota dengan kondisi sosial ekonomi dan geografis serta kapasitas kelembagaan yang berbeda-beda sehingga memengaruhi kemampuan daerah dalam menerapkan kebijakan pendidikan. Pengalihan tanggung jawab melalui desentralisasi layanan pendidikan ke pemerintah daerah yang bervariasi ini memicu kekhawatiran politisasi dalam pengelolaan pendidikan. Kajian yang dilakukan Rosser (2018) menunjukkan bahwa terjadi disparitas mutu pendidikan di Indonesia, selain muncul karena masalah pendanaan yang belum memadai, defisit sumber daya manusia antardaerah, struktur insentif yang keliru, dan manajemen pengelolaan yang belum memadai, terutama berkaitan dengan masalah ekonomi dan politik. Penyediaan dan pengelolaan sumber daya, serta rekrutmen dan pengelolaan guru misalnya, berhubungan erat dengan praktik politik dan kekuasaan di tingkat daerah (Rosser, 2018; OECD/ADB, 2015).


Dari sisi capaian hasil belajar, disparitas mutu pendidikan terlihat dari hasil penilaian Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang mengukur kemampuan matematika, membaca, dan sains siswa Indonesia. Data AKSI SMP pada 2019 memperlihatkan perbedaan rata-rata skor AKSI siswa dari DKI Jakarta dan DI Yogyakarta dengan daerah lain baik di pulau Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia. Pengelompokan nilai AKSI dilakukan berdasarkan pulau-pulau dan dua provinsi dengan nilai tertinggi (DKI Jakarta dan DI Yogyakarta) yang menunjukkan ketimpangan kualitas pendidikan secara geografis. Pulau-pulau di timur Indonesia seperti Sulawesi, Papua, Kepulauan Maluku, dan Kepulauan Nusa Tenggara menunjukkan kesenjangan yang tinggi dibandingkan dengan DKI Jakarta dan DI Yogyakarta dalam nilai AKSI (Pusat Penilaian Pendidikan, 2019).


Selain isu mengenai disparitas mutu pendidikan antardaerah, kompetensi guru di Indonesia juga belum memadai. Model pengajaran guru di Indonesia diyakini masih bertindak sebagai penerus pengetahuan, bukan fasilitator pembelajaran. Banyak guru disinyalir tidak memfokuskan pengembangan karakter dan membangkitkan keingintahuan belajar siswa. Dalam hal guru mengajukan pertanyaan, sekitar 90% dari tanggapan siswa hanya berupa jawaban satu kata. Cara guru bertanya bersifat dangkal, belum mendukung  munculnya keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) dan kemampuan menjelaskan logika pemikiran (Renstra Kemendikbud 2020—2024). Simpulan ini senada dengan data hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilakukan terhadap guru-guru Indonesia. Nilai rata-rata UKG 2019 tertinggi yang dicapai oleh guru jenjang SD adalah sebesar 54,80, guru jenjang SMP sebesar 58,60, dan jenjang SMA sebesar 62,30. Secara agregat, rata-rata nilai UKG nasional hanya 57 dari nilai maksimal 100 (Neraca Pendidikan Daerah, 2019).

Rendahnya kompetensi guru di atas dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, proses rekrutmen guru tidak dilakukan dengan baik sehingga tidak mampu menghasilkan mutu input guru yang memadai. Rekrutmen guru yang berkualitas terkendala baik dari sisi kelembagaan, seperti aturan dan kewenangan antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah, tersandera oleh kepentingan ekonomi politik baik di tingkat nasional maupun daerah, serta dinamika sosial di mana prestise guru PNS dianggap memiliki jaminan kesejahteraan sehingga banyak calon guru mengabdi sebagai guru honorer dengan keyakinan akan diangkat sebagai PNS (Aris R. Huang, dkk., 2020). Kedua, pengembangan kompetensi guru dalam jabatan tidak dilakukan secara berkelanjutan. Laporan yang dirilis OECD/ADB (2015) menyebutkan bahwa hanya sedikit guru di Indonesia yang mendapatkan pembinaan baik oleh fasilitator eksternal, kepala sekolah, pengawas, maupun rekan guru yang lebih berpengalaman (OECD/ADB, 2015).


Meningkatnya akses pendidikan, tetapi belum diikuti oleh peningkatan mutu pembelajaran menjadi gejala umum pada negara-negara berkembang. Dalam istilah yang dipopulerkan oleh Lant Pritchett (2013), fenomena ini disebut sebagai “schooling ain’t learning” ‘bersekolah tetapi tak belajar’. Bank Dunia dalam laporan bertajuk World Development Report 2018: Learning to Realize Education’s Promise menyebutkan, terdapat empat faktor yang membuat peserta didik di banyak negara berkembang gagal belajar. Pertama, minimnya kesiapan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, baik karena kurangnya nutrisi sejak kanak-kanak, minimnya kondisi kesejahteraan keluarga, maupun kurangnya kemampuan literasi dasar. Kedua, kurangnya kompetensi dan motivasi guru dalam mengajar. Ketiga, minimnya sumber daya belajar. Keempat, manajemen dan tata kelola pendidikan belum berkembang baik (World Bank, 2018b).


Menyadari bahwa sistem pendidikan di Indonesia saat ini secara umum berada dalam kategori sistem berkinerja di bawah rata-rata dibandingkan dengan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik berdasarkan hasil skor penilaian internasional, seperti PISA, TIMSS, dan EGRA (World Bank, 2018b), maka sangat penting untuk mengidentifikasi permasalahan inti yang harus ditangani untuk meningkatkan hasil pendidikan. Oleh sebab itu, negara- negara dengan sistem berkinerja di bawah rata-rata perlu membangun kapasitas kelembagaan untuk melakukan reformasi sistem yang lebih baik dan komprehensif. Kebijakan pengembangan kapasitas guru perlu diarahkan pada peningkatan kualitas pengajaran. Selain itu, perlu dikembangkan sistem penilaian hasil belajar di tingkat kelas, satuan pendidikan, dan nasional, serta korelasinya dengan penilaian internasional sebagai benchmarking dan akuntabilitas sistem (World Bank, 2018c).


Potret mutu pendidikan di Indonesia yang belum beranjak baik telah memantik berbagai program dan kebijakan di tingkat nasional. Upaya peningkatan mutu pendidikan diupayakan dengan membentuk sekolah-sekolah berkualitas di berbagai daerah, antara lain melalui kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Rujukan, dan Sekolah Model. Harapannya, melalui tumbuhnya sekolah berkualitas di suatu wilayah , maka akan dapat menjadi contoh bagi sekolah lain di sekitarnya.


Berbagai kebijakan peningkatan mutu pendidikan di atas telah mampu mendorong terselenggaranya layanan pendidikan yang lebih berkualitas, tetapi belum mampu memberikan dampak lebih luas dan merata ke lebih banyak sekolah dan daerah. Keterbatasan dampak tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, intervensi yang dilakukan sering menyasar kepada sekolah-sekolah dengan mutu yang “sudah baik” sehingga, alih-alih mendorong pemerataan mutu pendidikan, justru dapat menambah disparitas mutu dengan sekolah-sekolah di sekitarnya. Kedua, program yang diberikan bersifat bantuan dana atau bantuan sarana fisik sehingga proses pengimbasan ke sekolah lain sulit dilakukan. Ketiga, keberlanjutan program peningkatan mutu tidak didukung oleh ekosistem yang memadai baik di tingkat nasional maupun daerah. Regulasi yang menjamin keberlanjutan program di tingkat nasional tidak tersedia, begitu pula upaya adopsi dan perluasan program (scale out) di tingkat daerah tidak dilakukan. Ekosistem pengembangan mutu dapat terbentuk apabila didukung oleh regulasi, kebijakan, dan penganggaran yang berkelanjutan, serta kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah.


Sebagai upaya melanjutkan dan mengembangkan kebijakan peningkatan mutu pendidikan agar lebih merata kepada lebih banyak sekolah dan daerah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menginisiasi Program Sekolah Penggerak. Program ini berupaya mendorong sekolah-sekolah melakukan transformasi diri untuk meningkatkan mutu pembelajaran di tingkat internal, kemudian melakukan pengimbasan ke sekolah-sekolah lain untuk melakukan peningkatan mutu serupa. Agar program ini berkelanjutan, maka perlu upaya untuk menciptakan ekosistem peningkatan mutu pendidikan baik di tingkat nasional, daerah dan satuan pendidikan. Regulasi, kebijakan, dan penganggaran bidang pendidikan akan difokuskan untuk mendukung peningkatan mutu agar capaian hasil belajar meningkat secara terus menerus baik di level satuan pendidikan, daerah, hingga nasional.


 


Semoga materi ini bermanfaat

Posting Komentar untuk "Naskah Program Sekolah Penggerak Tahun 2021"